Senin, 26 Mei 2014

makalah manajemen mutu

Tinjauan tentang perkembangan konsep – konsep mutu dan penerapannya dalam industri konstruksi

A.  Perkembangan Awal  Konsep Tentang Mutu
Konsep tentang kontrol kualitas pertama kali tercatat di Mesopotamia semasa pemerintahan raja Hammurabi pada (2123-2081 BC). Catatan tentang kontrol kualitas tersebut berbentuk hukum – hukum yang mengatur masyarakat Babylonia pada masa itu, ditemukan dalam bentuk prasasti setinggi 2.4 meter terbuat dari pelat batu. Salah satu point hukum tersebut menyebutkan “seseorang membangun rumah, dimana rumah tersebut rubuh dan mengakibatkan terbunuhnya si penghuni rumah itu, maka orang tersebut harus dihukum mati”. Tentunya konsep seperti ini tidak cocok diterapkan sekarang.
Kemudian dengan adanya revolusi di Inggris pada awal abad ke 18, maka standar kontrol kualitas menyebar dengan cepat. Revolusi industri ditandai dengan produksi barang secara massal dan dengan menggunakan sistem mekanisasi. Sampai tahap ini pemilik perusahaan sangat kesulitan untuk mengontrol semuanya secara langsung, sehingga muncul kebutuhan akan adanya manajer. Para manajer ini berusaha keras untuk meningkatkan efisiensi pada organisasi perusahaan.

B.     Perkembangan Konsep Mutu di Era Modern
Pada awalnya perkembangan konsep mutu berasal dari Amerika. Awalnya mutu ditentukan oleh produsen, hal ini bisa terjadi karena pada awal perkembangannya tidak banyak produsen yang menghasilkan suatu produk, sehingga konsumen memiliki opsi yang terbatas dalam membeli suatu produk. Namun seiring dengan timbulnya persaingan maka paradigma mutu bergeser menjadi “consumen oriented”. Mulanya ahli –ahli yang memfokuskan bidang keilmuannya dalam hal mutu kurang ditanggapi dan didengar oleh publik Amerika. Namun beberapa dari mereka merupakan pelopor dalam pengenalan dan pengembangan konsep mutu. Sejak 1980 keterlibatan mereka dalam manajemen terpadu telah dihargai di seluruh dunia. Tokoh tokoh yang berjasa dalam mengembangkan kualitas beserta konsep yang mereka kembangkan akan diuraikan dibawah ini.

1.      F.W. Taylor (1865 – 1915)
Dalam bukunya beliau mengembangkan suatu konsep tentang pembagian kerja (division of work) sehingga mendapat gelar “Bapak Manajemen Ilmiah”. Dalam bukunya tersebut dijelaskan beberapa hal berkaitan dengan teori manajemen yaitu :
·        Setiap orang harus diberikan deskripsi tugas yang jelas dan bisa diselesaikan dalam satu hari
·        Pekerja yang tidak mampu memenuhi target kerja personal yang telah ditetapkan diberi penalti.
·        Sebaliknya jika pekerja berprestasi maksimal maka seharusnya diberikan bonus
·        Pekerja harus diberi peralatan yang memadai untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Hal lain yang dilakukan Taylor adalah memisahkan perencanaan dari perbaikan kerja, artinya bagian produksi / yang bertanggungjawab untuk bekerja dipisahkan dengan bagian yang  bertanggungjawab untuk memperbaiki kerja.

2.      Edward Deming
Lahir tahun 1900 dan mendapat Ph. D pada 1972 sangat menyadari bahwa ia telah memberikan pelajaran tentang pengendalian mutu secara statistik kepada para insinyur bukan kepada para manajer yang mempunyai wewenang untuk memutuskan. Katanya :“Quality is not determined on the shop floor but in the executive suite”. Pada 1950, beliau diundang oleh, “The Union to Japanese Scientists and Engineers (JUSE)” untuk memberikan ceramah tentang mutu. Pendekatan Deming dapat disimpulkan sebagai berikut :
·        Mutu utamanya dihasilkan sebagi hasil tindakan managemen senior bukan tindakan oleh para pekerja
·        Sistem kerja yang mengukur bagaimana unjuk kerja terbentuk dan hanya manager yang dapat menghasilkan sistem.
·        Hanya Manajer yang dapat mengalokasikan sumber daya, memberikan pelatihan kepada pekerja, memilih peralataan yang pekerja gunakan dan memberikan lingkunag kerja yang mendukung proses mutu.
·        Hanya manajer senior yang dapat memperkirakan pasa dimana perusahaan akan berpartisipasi dan produk apa yang akan diberikan ke pasar.
Hal ini berarti bahwa tanpa keterlibatan pimpinan secara aktif tidak mungkin tercapai manajemen mutu terpadu.

3.      Prof Juran
Mengunjungi Jepang pada tahun 1945. Di Jepang Juran membantu pimpinan Jepang di dalam menstrukturisasi industri sehingga mampu mengekspor produk ke pasar dunia. Ia membantu Jepang untuk mempraktekkan konsep mutu dan alat-alat yang dirancang untuk pabrik ke dalam suatu seri konsep yang menjadi dasar bagi suatu “management process” yang terpadu. Juran mendemonstrasikan tiga proses manajerial untuk mengelola keuangan suatu organisasi yang dikenal dengan trilogy Juran yaitu, Finance Planning, Financial control, financial improvement. Adapun rincian trilogy itu sebagai berikut( Juran 1954):
·        Quality planning, suatu proses yang mengidentifikasi pelanggan dan proses yang akan menyampaikan produk dan jasa dengan karakteristik yang tepat dan kemudian mentransfer pengetahuan ini ke seluruh kaki tangan perusahaan guna memuaskan pelanggan.
·        Quality control, suatu proses dimana produk benar-benar diperiksa dan dievaluasi, dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan para pelanggan. Persoalan yang telah diketahui kemudian dipecahkan, misalnya mesin-mesin rusak segera diperbaiki.
·        Quality improvement, suatu proses dimana mekanisme yang sudah mapan dipertahankan sehingga mutu dapat dicapai berkelanjutan. Hal ini meliputi alokasi sumber-sumber, menugaskan orang-orang untuk menyelesaikan proyek mutu, melatih para karyawan yang terlibat dalam proyek mutu dan pada umumnya menetapkan suatu struktur permanen untuk mengejar mutu dan mempertahankan apa yang telah dicapai sebelumnya.

Uraian tokoh-tokoh mutu di atas sekedar menggambarkan secara singkat saja. Masih banyak para sarjana di bidang mutu yang tidak sempat ditulis pada kesempatan ini. Yang jelas para sarjana tersebut sependapat bahwa konsep : “pentingnya perbaikan mutu secara terus menerus bagi setiap produk walaupun teknik yang diajarkan berbeda-beda”.
C.     DEFINISI MUTU
Menurut  America Society for Quality Control yang mengatakan : Quality is the totality of features and characteristics of a product or service that bear on its ability to satisty stated of implied needs (Kotler : 1994).
Menurut para pakar mutu di dunia, ada beberapa definisi mutu :
Mutu didefinisikan sebagai kesesuain dengan persyaratan atau keunggulan yang dipublikasikan “quality is defined as conformance to requirements, not as goodness or elegance” Philip B. Crosby (1992). Mutu berarti pemecahan masalah untuk mencapai penyempurnaan terus-menerus, “create constancy of purpose for continual improvement of products and service” W. Edwards Deming (1984). "Quality" means those features of products which meet customer needs and thereby provide customer satisfaction. In this sense, the meaning of quality is oriented to income. The purpose of such higher quality is to provide greater customer satisfaction and, one hopes, to increase income. However, providing more and/or better quality features usually requires an investment and hence usually involves increases in costs. Higher quality in this sense usually "costs more".  "Quality" means freedom from deficiencies-freedom from errors that require doing work over again (rework) or that results in field failures, customer dissatisfaction, customer claims and so on. In this sense, the meaning of quality is oriented to costs, and higher quality usually "costs less"." Joseph M. Juran (1951). “The quality of a product (article or service) is its ability to satisfy the needs and expectations of the customers” Bergman and Klefsjo (1994)
Menurut ISO 9000:2000, mutu adalah derajat/tingkat karakteristik yang melekat pada produk yang mencukupi persyaratan atau keinginan. Karakteristik disini berarti hal-hal yang dimiliki produk, antara lain :
1.      Karakteristik fisik ( elektrikal, mekanikal, biological) seperti handphone, mobil, rumah, dll.
2.      Karakteristik perilaku ( kejujuran, kesopanan ). Ini biasanya produk yang berupa jasa seperti di rumah sakit atau asuransi perbankan.
3.      Karakteristik sensori ( bau, rasa ) seperti minuman dan makanan.



D.    KEUNTUNGAN MUTU
Banyak yang menganggap bahwa produk yang bermutu adalah pemborosan semata. Namun nyatanya, dapat dibuktikan bahwa membuat produk yang bermutu itu justru mendatangkan manfaat/keuntungan bagi perusahaan.
1.      Keuntungan peningkatan pasar.
Dengan berfokus pada mutu, maka akan terjadi perbaikan dari segi performance, feature, dan reability. Misalnya, pada perusahaan keramik akan terjadi produk keramik yang semakin kuat dan mudah menempel sehingga akan terjadi peningkatan reputasi mutu produk. Dari sana produk keramik tersebut akan semakin dikenal dan diakui sebagai keramik yang mudah dipasang dan tidak mudah retak. Kemudian akan terjadi peningkatan pangsa pasar karena produk semakin terkenal atau karena terjadi peningkatan harga produk karena permintaan produk semakin besar ( efek brand ), peningkatan harga atau pangsa pasar tersebut menyebabkan peningkatan keuntungan.
2.      Mengurangi biaya
Sementara jika keuntungan mutu ditinjau dari segi biaya adalah dengan berfokus kepada mutu maka perusahaan akan semakin meningkatkan kinerja produksinya. Kinerja produksi yang tinggi membuat tingginya produktifitas, rendahnya biaya garansi atau cacat produksi. Hal ini kemudian membuat biaya manufaktur yang rendah dan biaya servis yang kecil pula sehingga berdampak sangat besar dalam penghematan biaya.

E.     PERKEMBANGAN MUTU
1.      Era Tanpa Mutu
Era ini dimulai sebelum abad ke-18, dimana produk yang dibuat tidak memperhatikan mutu. Kondisi ini mungkin terjadi jika perusahaan tersebut tidak memiliki pesaing ( monopoli ).
2.      Era Inspeksi
Pada zaman ini, mutu hanya melekat pada produk akhir. Dengan kata lain, masalah mutu hanya berkaitan dengan produk yang rusak atau cacat. Zaman ini berlangsung di negara Barat sekitar tahun 1800-an, dimana produsen mulai mendapatkan pesaing dan produksi yang digunakan adalah produksi massal. Pemilihan terhadap produk akhir dilakukan dengan melakukan inspeksi.
Perhatian produsen terhadap mutu sangat terbatas. Manajemen puncak sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap kualitas produk, dan tanggung jawab terhadap produk didelegasikan pada departemen inspeksi/operasi dengan titik berat pada produk akhir sebelum dilepas ke konsumen sehingga perbaikan terjadi ketika kesalahan telah terjadi.
3.      Era Statistical Quality Control
Era ini dimulai pada tahun 1930 yang diperkenalkan oleh Walter A. Shewart. Jika pada zaman inspeksi terjadi penyimpangan atribut produk yang dihasilkan dari atribut standar (terjadi cacat), departemen tersebut tidak dapat mendeteksi apakah penyimpangan tersebut disebabkan karena kesalahan pada produksi atau hanya karena kebetulan. Dengan demikian, informasi yang diperoleh tidak dapat digunakan untuk melakukan perbaikan terhadap produksi untuk mencegah hal serupa. Tetapi pada statistical quality control, departemen inspeksi dilengkapi dengan alat dan metode statistic dalam mendeteksi adanya penyimpangan yang terjadi dalam produk yang dihasilkan selama proses produksi. Data penyimpangan tersebut dapat diberitahukan kepada departemen produksi sebagai dasar diadakannya perbaikan terhadap proses dan system yang digunakan untuk mengolah produk. Para era ini, deteksi penyimpangan signifikan secara statistic sudah mulai dilakukan sehingga kualitas produk sudah mulai dikendalikan departemen produksi. Akan tetapi konsep kualitas masih terbatas pada atribut yang melekat pada produk yang sedang dan telah diproduksi.
4.      Era Quality Assurance
Di era ini, konsep mutu mengalami perluasan. Jika dulu hanya terbatas pada tahap produksi kini mulai merambah ke tahap desain dan koordinasi dengan departemen jasa ( seperti bengkel, energy, perencanaan dan pengendalian produksi, serta pergudangan ). Keterlibatan manajemen dalam penanganan mutu produk mulai disadari pentingnya karena keterlibatan pemasok dalam penentuan mutu produk memerlukan koordinasi dan kebijakan manajemen. Pada zaman ini mulai diperkenalkan konsep mengenai biaya mutu, yaitu pengeluaran akan dapat dikurangi jika manajemen meningkatkan aktifitas pencegahan yang merupakan hal yang lebih penting daripada upaya perbaikan mutu atas penyimpangan yang sudah terlanjur terjadi.



5.      Era  Total Quality Management
Sejarah Perkembangan Total Quality Management banyak yang beranggapan bahwa TQM berasal dari Jepang, mengingat konsep TQM banyak dipengaruhi perkembangan-perkembangan di Jepang. Kekalahan Jepang pada perang dunia II, membangkitkan budaya Jepang dalam membangun sistem kualitas modern. Hadirnya pakar kualitas W. Edward Deming di Jepang pada tahun 1950 membuat para ilmuwan dan insinyur Jepang lebih bersemangat dalam membangun dan memperbaiki sistem kualitas. Keberhasilan yang cukup pesat perusahaan Jepang di bidang kualitas menjadi perhatian perusahaan-perusahaan di negara maju lainnya. Perusahaan kelas dunia kemudian mempelajari apa yang pernah diraih oleh perusahaan Jepang dalam mengembangkan konsep kualitas. Hasil studi perusahaan-perusahaan industri kelas dunia ini menunjukkan bahwa keberhasilan perusahaan Jepang ini salah satunya menerapkan apa yang dikenal dengan Total Quality Management (TQM). Tokoh yang di kenal luas dalam TQM ini adalah Edward Deming. Beliau mengajarkan teknik-teknik pengendalian kualitas di U.S. War Department, serta mengajarkan mata kuliah mengenai kualitas kepada ilmuan, insinyur, dan eksekutif perusahaan Jepang. Berawal dari sinilah TQM berkembang pesat di negara Sakura ini.
Pada awalnya orang Jepang memperhatikan tentang perilaku pelanggan. Pelanggan suka sekali memilih dan mengeluh terhadap hal-hal yang sepele, mereka berharap sesuatunya sempurna. Sebagai contoh, seorang pelanggan membeli kendaraan bermotor. Kebetulan asesori kendaraan motor kurang tepat pemasanganya yang sebenamya ia dapat memasangnya sendiri, dan hal tersebut tidak perlu diributkan.
Hanya sayangnya mereka tidak terbiasa dengan hal itu, dan mereka akan senang jika kejadian semacam itu dapat dicegah. Berawal dari situlah orang Jepang dalam memproduksi barang sangat memperhatikan pelanggan. Produk barang/jasa yang dihasilkan sesuai dengan keinginan pelanggan sama persis seperti yang dilaporkan penjual.
Sekarang telah menjadi kenyataan, bahwa produk dari Jepang yang dulunya dikenal sebagai produk rongsokan dan imitasi murahan dari produk Barat, kini justru sebaliknya menjadi produk-produk yang berkualitas tinggi dan berkembang pesat di didunia. Perusahaan-perusahaan Jepang menyadari bahwa pada masa mendatang adalah kualitas.
Dilakukannya antara lain dengan menciptakan infra-kualitas, yaitu aspek manusia, proses, dan Upaya perbaikan dilakukan dengan mengirimkan tim ke luar untuk mempelajari pendekatan-pendekatan dilakukan perusahaan asing dan mengundang dosen-dosen datang ke Jepang untuk memberikan kursus pelatihan kepada para manajer. Hasil dari semua upaya tadi adalah banyak ditemukannya strategi-strategi baru untuk menciptakan revolusi.
Sejak pertengahan tahun 70-an, barang-barang manufaktur Jepang, seperti mobil dan produk-produk elektronika mulai mendominasi perdagangan dunia karena kualitas yang dihasilkan sudah melampaui kualitas yang dihasilkan pesaingnya dari Amerika dan Eropa. Begitu pula dalam beberapa industri kunci, misal mesin industri, baja, otomotif, industri Barat mulai tergeser. Aspek perhatian atau penekanan Amerika sejak Perang Dunia II, yakni pada aspek kuantitas dan kurang memperhatikan kualitas menjadi penyebab kegagalan bersaing dengan perusahaan Jepang.
Dalam era ini, keterlibatan manajemen puncak sangat besar dan menentukan dalam menjadikan kualitas untuk menempatkan perusahaan pada posisi kompetitif. System ini dapat didefinisikan sebagai sistem manajemen strategis dan integratif yang melibatkan semua manajer dan karyawan, serta menggunakan metode-metode kualitatif dan kuantitatif untuk memperbaiki secara berkesinambungan proses-proses organisasi agar dapat memenuhi dan melebihi kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan.
TQM mencakup semua fungsi dalam manajemen. Desain, perencanaan, produksi, pemasaran, pengembangan sumber daya, pengelolaan keuangan yang baik, distribusi, dan pelayanan. Ukuran keberhasilan TQM merupakan kepuasan pelanggan, dan cara mencapainya terutama melalui desain system dan peningkatan terus-menerus. TQM pada prinsipnya adalah cara mengorganisasi dan mengerahkan seluruh organisasi, setiap departemen, setiap aktifitas, dan setiap individu untuk mencapai kualitas.

F.      Penerapan prinsip – prinsip pengendalian mutu dalam industri konstruksi.
Manajemen dalam bidang mutu adalah komponen penting dalam penentuan sukses tidaknya sebuah proyek konstruksi (abdul-rahman, 19997) dalam Raymond. T. Aoieong, et.al (2002). Sehingga tidak heran jika perhatian terhadap mutu juga makin meningkat belakangan ini diseluruh dunia (Chan, 1996; Docker, 1991; Kam dan Tang, 1997; Low and Seymour, 1990; Tang and Kam, 1999; Walters, 1992; Yates
dan Aniftos, 1997) dalam Syed M. Ahmed et.al (2002). Kualitas dan kesuksesan proyek dalam konstruksi dapat dilihat sebagai pemenuhan harapan dari pihak- pihak yang terlibat (Sanvido et.al, 1992; Barret, 2000 dalam Syed.M. Ahmed et.al (2002). Ada satu faktor yang membuat apakah pencapaian kualitas dilakukan dengan cara yang mahal atau cara yang menguntungkan, faktor tersebut adalah cost kualitas (Soetanto et.al., 2001 dalam Syed.M. Ahmed et.al.., 2002).  
Beberapa metode pengendalian mutu dapat diterapkan dalam proyek konstruksi. Namun sesuai dengan karakteristik proyek konstruksi antara lain : tidak kontinue, setiap proyek mempunyai masalah berbeda, sulit membuat sistem dan prosedur baku, sulit untuk menyeragamkan kualitas kerja (Soekiman. A, “bahan ajar mata kuliah Manajemen Mutu”, 2011), maka penerapan metode manajemen mutu di industri konstruksi perlu dilakukan penyesuaian.
Perkembangan metode – metode manajemen mutu seperti TQM, Kaizen, Six sigma memang diawali di industri manufaktur sehingga metode tersebut sangat sesuai untuk diterapkan di industri manufaktur. Berikut perbedaan antara industri konstruksi dan industri manufaktur (Kadir. M.R.A, 2006 dalam Latif.Y. 2009 dan Utami.R.P. 2009) :
1.      Produktivitas konstruksi dipengaruhi oleh pengaruh cuaca buruk, dan kondisi lapangan, sedangkan produksi dalam industri manufaktur berlokasi di bawah tempat yang terlindung yaitu pabrik dan terhindar dari pengaruh cuaca buruk yang mengacaukan.
2.      Hasil dari industri konstruksi tidak bergerak atau tidak akan dipindahkan. Sedangkan, dalam proses manufaktur, hasil diprogram untuk bergerak sepanjang garis produksi yang dikerjakan oleh pekerja karena pemasangan produk dilakukan secara mekanik.
3.      Tidak ada dua bangunan yang sama dalam industri konstruksi. Dalam manufaktur standar desain berpegang pada pemesanan, menghindari pembuatan modifikasi yang tidak diperlukan.
4.      Proses desain dan konstruksi tidak hanya panjang dan memerlukan banyak energi, juga rumit oleh jumlah yang besar desainer dalam proyek. Pada manufaktur, orang yang mendesain produk akan secara berulang-ulang menjadi orang yang sama dengan yang memproduksi.
5.      Terdapat waktu yang panjang antara awal perencanaan sampai dengan proses konstruksi dalam industri konstruksi, sehingga meskipun klien menginginkan suatu bangunan, untuk memilikinya segera sangat tidak memungkinkan.
6.      Dalam konstruksi umumnya ada progress payment yang diajukan karena nilai produk atau hasil dari konstruksi yang umumnya tinggi akan sangat mempengaruhi modal kerja. Dalam manufaktur, karena nilai produksi yang umumnya relatif rendah, jarang digunakan progress payment.
7.      Pemilik bangunan terlibat pada posisinya untuk mempengaruhi proses konstruksi. Sedangkan kontraktor produk manufaktur jarang dapat mempengaruhi langsung pertimbangan atau keputusan manajer produksi.
8.      Dalam industri konstruksi pengumpulan komponen-komponen skala besar dan kompleks di lapangan sulit untuk ditangani dan diikat secaramanual di tempat. Sebaliknya produk manufaktur biasanya siap dikumpulkan dengan mekanik.
9.      Aktivitas konstruksi sulit untuk di dekati selama pelaksanaan, karena adanya peraturan keamanan. Sedangkan tindakan pencegahan keamanan dalam manufaktur lebih siap karena tetapnya fasilitas produksi.
10.  Waktu pada proyek konstruksi atau pada tahap pelaksanaannya relatif pendek, sehingga tim manajemen dan tenaga kerja harus dikumpulkan dengan cepat dan tidak dapat sering disusun atau diatur kembali sebelum proyek atau tahap pekerjaan diselesaikan. Hal ini sangat berbeda dengan waktu yang panjang pada proses manufaktur yang memiliki keadaan yang berulangulang.

Contoh klasik penerapan manajemen mutu pada industri konstruksi adalah pada perusahaan konstruksi Jepang. Sejalan dengan penerapan sistem manajemen mutu pada industri manufaktur, industri konstruksi Jepang juga tidak mau ketinggalan untuk menerapkan prinsip – prinsip manajemen mutu, sehingga Perusahaan konstruksi Jepang mendapatkan kepercayaan untuk mengerjakan berbagai proyek infrastruktur di seluruh dunia.
Hal ini dibuktikan dengan pengamatan para ahli (e.g Andrews, 1973; Paulson dan Aki, 1980; Bennet et.al. 1987;  Hasegawa, 1988, Levy, 1990, 1993, dalam Rashid (2002)  bahwa Perusahaan Kontraktor besar di Jepang merupakan pemimpin dalam penerapan Total Quality Management secara domestik,
sehingga membuat suatu patokan untuk perusahaan – perusahaan dari negeri lain untuk mencontohnya. Hal ini bisa terjadi karena lingkungan kerja di Jepang sangat mendukung sehingga kualitas merupakan fokus utama dalam proses konstruksi.
Berikut akan dijelaskan tahapan – tahapan pengendalian mutu yang dilakukan oleh perusahaan konstruksi Jepang terhadap suatu Proyek (Rashid, 2002) :
1.      Proses
Sampai tahun 1973 kualitas konstruksi di Jepang sangat menimbulkan keprihatinan bagi pengguna jasa dan juga masyarakat (Bennet et.al., 1987; Levy, 1990). Kemudian industri konstruksi Jepang bereaksi positif dengan memperkenalkan jaminan kualitas secara formal seperti Kajima’s Company Wide Quality Control (CWQC) dan Obayashi’s SK.  Mencoba membuktikan kepada pihak – pihak yang skeptis seperti Hippoh (1983) yang menyatakan bahwa hal ini adalah sesuatu yang sementara, komitmen kontraktor Jepang terhadap kualitas sampai hari ini tetap tidak berkurang.
Levy (1993) memperhatikan bahwa kualitas tersebut tetap dipertahankan walaupun untuk proyek di luar negeri. Malah 75 % dari perusahaan – perusahaan konstruksi Jepang yangberoperasi di luar negeri mempunyai manual proyek managemen untuk operasi di luar negeri. Dalam manual tersebut memuat metode kerja konstruksi yang direkomendasikan, pengawasan dan pihak yang bertanggungjawab terhadap pengawasan tersebut. Juga disebutkan bahwa rapat kontrol mutu dengan subkontraktor juga harus dilakukan secara teratur.
1.      Rutin Kerja
Komitmen terhadap kualitas oleh kontraktor Jepang menghasilkan ketelitian yang tinggi pada detil dan pendekatan secara terstruktur pada kerja (Levy, 1990). Gambar – gambar rencana yang disiapkan oleh arsitek akan di cek ulang oleh kontraktor Jepang dan bila perlu dilakukan koreksi (Hasegawa, 1988). Perhatian manajemen akan bergerak dari kantor pusat ke lapangan sejalan dengan progres kerja lapangan yang meningkat (Andrews, 1973; Paulson dan Aki, 1980; Bennet et.al., 1987; Levy, 1990). Ketika pekerjaan dimulai, semua tugas termasuk pembelian material, pembayaran gaji, pengambilan tenaga kerja dan pekerjaan desain dilakukan di lapangan. Pekerjaan yang berkualitas tinggi tersebut juga dihasilkan dari penempatan manajemen  lapangan dengan kualifikasi sangat berpengalaman dalam jumlah banyak (Andrews, 1973; Hasegawa, 1988; Levy, 1990).
Walaupun demikian biaya overhead dalam pembayaran tenaga berpengalaman tersebut dapat tertutupi oleh pencegahan terhadap penundaan pekerjaan dan pengulangan pekerjaan akibat kesalahan kerja. Kualitas di ukur dan dipertahankan melalui sejumlah tes yang sudah direncanakan dengan secara detail dan hati – hati. Ide yang paling menarik untuk suatu pemecahan masalah didiskusikan dalam suatu presentasi perusahaan, dan jika terbukti benar justru akan menjadi pedoman kerja perusahaan yang baru.
1.   Pengendalian Biaya
Di Jepang, Kontrak didasarkan atas basis Lump Sum (Hasegawa, 1988). Bennet et.al. (1987) memberikan opini bahwa di Jepang jika kriteria waktu dan mutu terpenuhi, maka masalah biaya akan jadi pertimbangan kedua. Dengan kata lain prioritas biaya dikalahkan oleh prioritas lain yang lebih penting. Meskipun ketika variasi desain mengakibatkan penambahan biaya, kontraktor masih ragu untuk melakukan klaim akibat tambahan biaya yang diakibatkan klien (Levy, 1990). Penambahan nilai kontrak dilakukan melalui negoisasi yang bersahabat atas pertimbangan yang masuk akal dan pada posisi sederajat. Kalau cara seperti tadi tidak berhasil, maka kontraktor akan berusaha mencari cara lain dalam pelaksanaan lapangan untuk menutupi tambahan biaya ini ( Levy, 1990).

2.   Pengendalian waktu
Di Jepang, karena adanya permintaan dari pengguna jasa, pemenuhan terhadap batas waktu proyek adalah sesuatu yang hampir sakral (Levy, 1990). Karenanya penyusunan program pekerjaan yang sangat detil menggunakan metode barchart, Metode Network Planning untuk berbagai kerangka waktu seperti total, Bulanan dan pemecahan dalam 10 harian (hasegawa, 1988). Kontrol terhadap waktu, seperti halnya kontrol biaya dan keselamatan dicapai melalui proses yang konsisten dengan mengadakan rapat harian dengan subkontraktor, lalu subkontraktor tersebut menindaklanjuti dengan mengadakan rapat dengan pekerjanya untuk membahas pekerjaan yang harus dilakukan pada hari ini (Bennet et.al., 1987)



3.   Kontrol keselamatan Kerja.
Digerakkan oleh catatan keselamatan kerja yang buruk di Industri Konstruksi, Pemerintah Jepang secara dramatis menyusun ulang pelatihan keselamatan kerja pada tahun 1971 dan memberlakukan beberapa Undang – Undang yang berkaitan dengan keselamatan kerja (Bennet et.al., 1987; Levy 1990). Kebijakan keselamatan kerja telah diwajibkan untuk semua proyek konstruksi. Pekerja yang menderita cedera karena tidak digunakannya topi keselamatan harus diberi asuransi.
Pemerintah melantik inspektur yang berwenang untuk menghentikan kerja dan menyelidiki semua kecelakaan kerja yang serius. Kontraktor dengan catatan keselamatan kerja yang jelek akan diblacklist oleh klien dan publik. Sebagai konsekwensi dari semua tindakan diatas, keselamatan kerja konstruksi diperhatikan dengan sangat serius di Jepang.
Perhatian terhadap keselamatan kerja tersebut, dimulai sejak dari tahap rencana dan secara terus – menerus ditekankan selama proses pekerjaan. Selama proses pengerjaan, suatu bangunan di tutup dengan jaring pengaman. Slogan dan poster yang menginagatkan pekerja agar menggunakan alat pengaman ditempel di tempat –tempat yang mudah di lihat di lokasi proyek.

G. Penutup.
Konsep tentang manajemen kualitas lahir dari tuntutan konsumen tehadap produk berkualitas. Diawali di sektor manufaktur, ternyata kebutuhan akan manajemen kualitas juga mendesak untuk diterapkan di industri konstruksi. Dengan sejumlah karakteristik unik yang membedakan antara industri manufaktur dan konstruksi, sehingga diperlukan sedikit modifikasi agar penerapan prinsip -  prinsip manajemen kualitas dapat dilakukan dengan sempurna di Industri konstruksi.
Negara yang disebut menjadi pioneer dalam hal pengembangan manajemen mutu di industri konstruksi adalah Jepang. Prinsip – prinsip utama dalam manajemen mutu seperti TQM, Six Sigma, Kaizen dan lainnya secara konsisten telah di terapkan oleh perusahaan Konstruksi Jepang. Kondisi tersebut tentunya bukan didapat dalam jangka waktu semalam. Dibutuhkan komitmen, totalitas dan kesepahaman bersama antara stake holder, penyedia jasa dan pengguna jasa di industri konstruksi Jepang untuk mewujudkan kondisi tersebut.
Setelah memulai sejak tahun 1973, sekarang perusahaan konstruksi Jepang telah menikmati status sebagai salah satu perusahaan terbaik di dunia dalam industri jasa konstruksi dikaitkan dengan kualitas pekerjaan. Akibat turunan yang didapat perusahaan konstruksi Jepang dapat merebut pangsa pasar dari industri konstruksi global.
Jika Indonesia ingin menjadi pemain global dalam industri konstruksi, beberapa hal yang diterapkan Jepang dalam manajemen mutu seperti diuraikan diatas dapat di coba untuk diterapkan.
























Daftar Pustaka
Ahmed, S.M,  and Aoieong, R (2005), ”Comparison of quality management systems in the construction industries of Hong Kong and the USA”,(online), Vol. 22 No.2, (http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari 2011)

Ardiansyah, R,(2010), “Perkembangan Konsep Quality control”, (online) (http://ronymedia.wordpress.com/2010/06/19/perkembangan-konsep-quality-control, diakses 12 Februari 2011)

Bart A.G. Bossink, “Innovative quality management practices in the Dutch construction industry”, (online), Volume 19, No. 8, (http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari 2011)

Latief. Y dan Utami. R.P. (2009), “Penerapan pendekatan metode six sigma dalam penjagaan kualitas pada proyek konstruksi”,(online), Vol. 13 No. 2, (http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari 2011)

Low,S.P. and Omar, H.F (1997), “The effective maintenance of quality management systems in the construction industry”,(online), Volume 14, No.8, (http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari 2011)

Low, S.P and  Hong, S.H, (2005). “Strategic quality management for the construction industry”,(online), Vol. 17 No.1, (http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari 2011)

M.N. Nasution (2010) Manajemen Mutu Terpadu. Edisi kedua.Ghalia Indonesia, Bogor.

P.D. Rwelamila,(1995), “Quality Management in the SADC construction industries”, (online), Volume 12, No. 8, (http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari 2011)

Rashid.A, (2002),“ The realities of applying total quality management in the construction industry”, (online), Volume 20 No.2, (http://www.emeraldinsight.com, diakses 12 Februari 2011)
Soekiman, A, (2011), “Bahan – bahan kuliah Manajemen Mutu”















Tidak ada komentar:

Posting Komentar